ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES INSIPIDUS
PENDAHULUAN
I.
LATAR
BELAKANG
Kelenjar
hipofisis disebut sebagai master gland sistem
endokrin. Kelenjar ini menyekresikan hormon-hormon yang selanjutnya akan
mengendalikan sekresi hormon oleh kelenjar endokrin lainnya. Kelenjar hipofisis
sendiri sebagian besar dikontrol oleh hipotalamus, suatu daerah otak di dekat
kelenjar tersebut. Kelenjar hipofisis memiliki ukuran 1,27 cm (1/2 inci) yang
terletak pada permukaan inferior otak dan dihubungkan dengan hipotalamus
melalui tangkai hipofisis. Kelenjar hipofisis dibagi menjadi lobus anterior,
intermedius, dan posterior. Hipofisis anterior menyekresikan hormon
stimulasi-folikel (FSH), hormon luteinisasi (LH), prolaktin hormon
adrenokortikotropik (ACTH), hormon stimulasi tiroid (TSH) dan hormon pertubuhan
(growth hormone). Sekresi
hormon-hormon tersebut dikendalikan oleh faktor pelepasan atau releasing factor (RF) yang disekresikan
oleh hipotalamus. Sedangkan hipofisis posterior menyekresikan vasopresin atau
hormone antidiuretik (ADH) dan oksitosin. Kedua hormon ini disintesis kemudian berjalan
lewat sel-sel saraf yang menghubungkan hipotalamus dengan kelenjar hipofisis
posterior tempat hormon tersebut disimpan (Smeltzer dan Bare 1996: 1291-1292).
Sekresi
ADH dipengaruhi dan dirangsang oleh peningkatan osmolalitas darah dan penurunan
tekanan darah. Fungsi utama ADH adalah mengendalikan ekskresi air oleh ginjal (Smeltzer
dan Bare 1996: 1292). Abnormalitas fungsi hipofisis disebabkan oleh
hipersekresi atau hiposekresi setiap hormon yang diproduksi atau dilepas oleh
kelenjar tersebut. Hiposekresi paling sering mengenai ADH yang menimbulkan
keadaan yang dikenal dengan penyakit diabetes insipidus (Smeltzer dan Bare
1996: 1293).
Diabetes insipidus merupakan kelainan pada
lobus posterior hipofisis yang disebabkan oleh defisiensi vasopresin yang
merupakan hormon antidiuretik (ADH) (Smeltzer dan Bare 1996: 1336). Penyakit ini berbeda dengan diabetes mellitus
karena pada diabetes ini sekresi hormon
insulin yang mengalami gangguan. Diabetes insipidus ditandai dengan oleh
polidipsi dan poliuria. Penyebab diabetes insipidus berhubungan dengan trauma
kepala, tumor otak, nefrologis, obat-obatan, faktor genetik serta idiopatik.
Diabetes
insipidus termasuk penyakit yang langka dan banyak masyarakat yang belum
mengetahui penyakit ini. Walaupun begitu peran tenaga kesehatan sangat
ditantang untuk menekan jumlah penderita diabetes insipidus yang terdiagnosis
maupun yang belum. Selain itu peran perawat sangat penting dalam mengkaji
setiap respon klinis yang ditimbulkan oleh penderita diabetes insipidus untuk
menentukan asuhan keperawatan yang tepat bagi penderita diabetes
insipidus.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Adapun
yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Apa
definisi diabetes insipidus?
2.
Bagaimana
epidemiologi diabetes insipidus?
3.
Apa
saja klasifikasi dari diabetes insipidus?
4.
Apa
saja etiologi dari diabetes insipidus?
5.
Apa
saja faktor resiko dari diabetes insipidus?
6.
Bagaimana
patofisiologi dari diabetes insipidus?
7.
Apa
saja manifestasi klinis dari diabetes insipidus?
8.
Apa
saja pemeriksaan penunjang dari diabetes insipidus?
9.
Apa
saja penatalaksanaan medis dari diabetes insipidus?
10.
Bagaimana
prognosis diabetes insipidus?
11.
Apa
saja komplikasi dari diabetes insipidus?
12.
Bagaimana
asuhan keperawatan dari diabetes insipidus?
III.
TUJUAN
UMUM
Tujuan
umum dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai
penyakit diabetes insipidus dan untuk mengetahui asuhan keperawatan dari
diabetes insipidus.
IV.
TUJUAN
KHUSUS
1.
Untuk
mengetahui definisi dari diabetes insipidus
2.
Untuk
mengetahui epidemiologi diabetes insipidus
3.
Untuk
mengetahui klasifikasi dari diabetes insipidus
4.
Untuk
mengetahui etiologi dari diabetes insipidus
5.
Untuk
mengetahui faktor resiko dari diabetes insipidus
6.
Untuk
mengetahui patofisiologi dari diabetes insipidus
7.
Untuk
mengetahui manifestasi klinis dari diabetes insipidus
8.
Untuk
mengetahui pemeriksaan penunjang dari diabetes insipidus
9.
Untuk
mengetahui penatalaksanaan medis dari diabetes insipidus
10.
Untuk
mengetahui prognosis diabetes insipidus
11.
Untuk
mengetahui komplikasi dari diabetes insipidus
12.
Untuk
mengetahui asuhan keperawatan dari diabetes insipidus
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
I.
PENGERTIAN
DIABETES INSIPIDUS
Diabetes insipidus merupakan
kelainan pada lobus posterior hipofisis yang disebabkan oleh defisiensi vasopresin yang merupakan hormon antidiuretik (ADH) (Smeltzer dan Bare 1996:
1336).
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan dan diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat mengganggu mekanisme refleks neurohphysealrenal sehingga mengakibatkan kegagalan tubuh dalam mengonsumsi air (Daldiyono et al cit Suparman, 1987).
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang ditandai dengan poliuria dan polidipsi yang disebabkan oleh defisiensi ADH (Hamcock, 1999).
Diabetes insipidus adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan polidipsi dan poliuri. Dua mekanisme yang mendasari adalah gangguan pelepasan ADH oleh hipotalamus atau hipofisis (sentral) dan gangguan respon terhadap ADH oleh ginjal (nefrogenik) (Kusmana 2016: 825).
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan dan diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat mengganggu mekanisme refleks neurohphysealrenal sehingga mengakibatkan kegagalan tubuh dalam mengonsumsi air (Daldiyono et al cit Suparman, 1987).
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang ditandai dengan poliuria dan polidipsi yang disebabkan oleh defisiensi ADH (Hamcock, 1999).
Diabetes insipidus adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan polidipsi dan poliuri. Dua mekanisme yang mendasari adalah gangguan pelepasan ADH oleh hipotalamus atau hipofisis (sentral) dan gangguan respon terhadap ADH oleh ginjal (nefrogenik) (Kusmana 2016: 825).
II.
EPIDEMIOLOGI
DIABETES INSIPIDUS
Kejadian diabetes insipidus diperkirakan kasus tiap
25.000 populasi. Penyebab utama adalah tindakan bedah saraf, tumor, trauma
kepala, lesi infiltratif, dan malformasi (sentral). Di Indonesia
belum ada laporan angka kejadian diabetes insipidus (Kusmana 2016: 825).
III.
KLASIFIKASI
DIABETES INSIPIDUS
Menurut Batticaca
(2008) secara patogenesis, diabetes insipidus dibagi menjadi dua jenis, yaitu
sebagai berikut.
1.
Diabetes
Insipidus Sentral (Central Diabetes
Insipidus-CDI)
2.
Diabetes
Insipidus Netrogenik (Netrogenic Diabetes
Insipidus-NDI)
Menurut
Kusmana (2016) diabetes insipidus diklasifikasikan berdasarkan sistem yang
terganggu, yaitu sebagai berikut.
1.
Diabetes
Insipidus Sentral
Pada dewasa penyebab yang sering antara lain karena
kerusakan kelenjar hipofisis atau
hipotalamus akibat pembedahan, tumor, inflamasi, cedera kepala, atau
penyakit (seperti meningitis). Sedangkan pada anak-anak, penyebabnya karena
kelainan genetik. Kerusakan ini mengganggu pembuatan, penyimpanan,
dan pelepasan ADH.
2.
Diabetes
Insipidus Nefrogenik
Kelainan akibat cacat tubulus ginjal, menyebabkan ginjal
tidak berespons baik terhadap ADH. Beberapa obat juga menyebabkan kelainan ini.
3.
Diabetes
Insipidus Gestasional
Kelainan
akibat degradasi ADH oleh vasopressinase yang
dihasilkan berlebihan oleh plasenta.
Keadaan ini berhubungan dengan meningkatnya risiko komplikasi pada
kehamilan, seperti pre-eklampsia.
4.
Diabetes
Insipidus Dipsogenik (Polidipsi Primer)
Kelainan akibat asupan cairan berlebihan yang merusak
pusat haus di hipotalamus.
Asupan air berlebihan jangka panjang dapat merusak ginjal dan menekan ADH,
sehingga urin tidak dapat dikonsentrasikan.
IV.
ETIOLOGI
DAN FAKTOR RESIKO DIABETES INSIPIDUS
Menurut Batticaca (2008)
penyebab dan faktor resiko dari diabetes insipidus, yaitu sebagai berikut.
1.
Diabetes
Insipidus Sentral (Central Diabetes
Insipidus-CDI)
Diabetes insipidus sentral disebabkan oleh kegagalan
pelepasan hormon antidiuretik (ADH) yang secara fisiologis dapat menyebabkan
kegagalan sintesis (penyimpanan) dan gangguan pengangkutan ADH yang disimpan
untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan (diakibatkan
oleh kerusakan osmoreseptor yang terdapat pada hipotalamus anterior dan disebut
Kerney’s osmoreceptor cells yang
berada di luar sawar darah otak).
2.
Diabetes
Insipidus Netrogenik (Netrogenic Diabetes
Insipidus-NDI)
Diabetes insipidus netrogenik (NDI) yaitu istilah
yang dipakai pada diabetes insipidus yang tidak responsive terhadap ADH eksogen.
Penyebabnya adalah kegagalan pembentukan dan pemeliharaan gradient osmosis
dalam medulla renalis dan kegagalan utilisasi gradien pada keadaan dimana ADH
berada dalam jumlah yang cukup dan berfungsi normal.
Menurut
Kusmana (2016) penyebab dan faktor resiko dari diabetes insipidus, yaitu
sebagai berikut.
1.
Diabetes
Insipidus Sentral
Diabetes insipidus sentral disebabkan
kondisi-kondisi yang mengganggu pembuatan, penyimpanan, dan pelepasan ADH.
Angka kejadian sama antara laki-laki dan perempuan, dapat terjadi pada seluruh
rentang usia, dengan onset terutama
pada usia 10-20 tahun. Penyebab diabetes insipidus sentral dibagi menjadi dua
kategori:
A.
Didapat
a.
Kerusakan
region hipotalamoneurohipofiseal karena trauma kepala, operasi, atau tumor.
Kerusakan bagian proksimal (30-40% kasus pasca-operasi trauma kepala)
menghancurkan lebih banyak neuron dibandingkan kerusakan bagian distal
(50-60% kasus).
b.
Idiopatik.
Sebanyak 50% kasus diabetes insipidus sentral dilaporkan sebagai kasus
idiopatik; sering disebabkan lesi intrakranial yang lambat pertumbuhannya.
Beberapa otopsi kasus juga menunjukkan atrofi neurohipofisis, nukleus supraoptik,
atau paraventrikuler. Laporan lain mencatat antibodi bersirkulasi yang melawan
neuron hipotalamus penghasil ADH, sehingga ada dugaan peranan autoimun. Kasus
idiopatik memerlukan pengkajian lebih cermat.
c.
Kelainan
vascular. Contoh: aneurisma dan sindrom Sheehan.
d.
Racun
kimia, antara lain racun ular.
B.
Diturunkan
Bersifat
genetik. Beberapa jenis resesif autosomal dan x-linked.
2.
Diabetes
Insipidus Nefrogenik
Diabetes
insipidus nefrogenik disebabkan adanya gangguan struktur atau fungsi ginjal,
baik permanen maupun sementara, akibat penyakit ginjal (penyebab tersering),
obat-obatan, atau kondisi lain yang menurunkan sensitivitas ginjal terhadap
ADH. Penyebab diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi dua kategori:
A.
Didapat
a.
Penyakit
ginjal yang menyebabkan gagal ginjal kronis akan mengganggu kemampuan ginjal
untuk mengkonsentrasi urin.
b.
Obat,
terutama lithium. Sekitar 55% pengguna lithium jangka panjang mengalami
gangguan mengkonsentrasi urin. Obat lain seperti gentamisin dan furosemid.
c.
Gangguan
elektrolit. Pada hipokalemia terjadi gangguan dalam hal menciptakan dan
mempertahankan gradien osmotik di medula. Selain itu, terjadi resistensi
terhadap efek hidro-osmotik ADH di duktus kolektikus. Pada hiperkalsemia
terjadi kalsifikasi dan fibrosis yang menyebabkan gangguan anatomis ginjal
sehingga mengganggu mekanisme konsentrasi urin.
d.
Kondisi
lain. Kehamilan, mieloma multipel, sickle
cell anemia, kekurangan protein, amiloidosis, dan sindroma Sjorgen dapat
menyebabkan diabetes insipidus nefrogenik.
B.
Diturunkan
a.
Mutasi
gen yang mengkode reseptor ADH tipe-2 (reseptor V2 atau AVPR2) pada kromosom Xq28 adalah bentuk paling sering.
b.
Mutasi
gen aquaporin-2 (AQP2) pada kromosom
12q13 (1% kasus) menyebabkan peningkatan kanal air yang diekspresikan di duktus
kolektikus ginjal.
V.
PATOFISIOLOGI DIABETES INSIPIDUS
Menurut
Kusmana (2016) hormon antidiureutik (ADH) berperan penting dalam sistem
regulasi volume cairan dan osmolalitas plasma tubuh. ADH diproduksi oleh
hipotalamus, kemudian disimpan di hipofisis posterior, dan disekresikan saat
diperlukan, yaitu jika osmolalitas plasma meningkat. Setelah disekresikan, ADH
akan merangsang duktus kolektikus di nefron ginjal untuk menyerap kembali
cairan, mengakibatkan osmolalitas urin meningkat dan osmolalitas plasma
menurun.
Bila
osmolalitas plasma turun, sekresi ADH akan berkurang. Segala kondisi yang
mengakibatkan penurunan sekresi ADH atau berkurangnya respons nefron ginjal
terhadap ADH akan menimbulkan diabetes insipidus.
VI.
MANIFESTASI
KLINIS DIABETES INSIPIDUS
Menurut Smeltzer dan Bare (1996)
manifestasi klinis dari diabetes insipidus, yaitu sebagai berikut.
1.
Poliuria.
Haluaran urin harian dalam jumlah yang sangat banyak dengan urin yang sangat
encer; berat jenis urin 1,001 sampa 1,005 g/ml; biasanya mempunyai awitan yang
mendadak, tetapi mungkin secara tersamar pada orang dewasa.
2.
Polidipsi.
Rasa sangat kehausan, 4 sampai 40 liter cairan setiap hari, terutama sangat
membutuhkan air dingin.
Menurut Batticaca (2008) diabetes
insipidus memiliki beberapa gejala klinis, yaitu sebagai berikut.
1.
Gejala
umum seperti poliuri dan polidipsi
2.
Jumlah
air yang diminum dan urin output per 24 jam sebanyak 5-10 L
3.
Berat
jenis urin antara 1,001-1,005 dan 50-200 MOSmol kgBB
Menurut
Kusmana (2016) gejala dominan diabetes insipidus adalah poliuri dan polidipsi. Volume
urin pasien relatif menetap tiap individu, bervariasi antara 3-20 liter/hari.
Pada dewasa, gejala utama adalah rasa haus, karena usaha kompensasi tubuh. Pasien ingin
terus minum, terutama air dingin dalam jumlah banyak.
Pada bayi, anak-anak,
dan lansia dengan mobilitas untuk minum terbatas, timbul
keluhan-keluhan lain. Pada bayi,
sering rewel, gangguan pertumbuhan, hipertermia, dan penurunan
berat badan. Anak-anak
sering mengompol, lemah, lesu, dan gangguan pertumbuhan. Lemah, gangguan
mental, dan kejang dapat terjadi pada
lansia.
Pada diabetes insipidus
sentral, terdapat 3 pola
klinis yaitu sementara, menetap, atau trifasik, di mana yang terbanyak adalah
pola trifasik.
1.
Fase poliuri (4-5 hari). Disebabkan
hambatan pelepasan
ADH, sehingga volume urin meningkat dan osmolalitas urin menurun.
2.
Fase antidiuretik (5-6 hari). Disebabkan pelepasan hormon
ADH, sehingga osmolalitas urin meningkat.
3.
Fase diabetes insipidus
menetap. Disebabkan
ADH telah habis dan tidak mampu menghasilkan lagi.
VII.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG DIABETES INSIPIDUS
Menurut Kusmana (2016)
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam diagnosis diabetes insipidus,
yaitu sebagai berikut.
1.
Pemeriksaan
Fisik
Temuan
dapat berupa pelvis penuh, nyeri pinggang, atau nyeri menjalar ke area
genitalia, juga pembesaran kandung kemih. Anemia ditemukan jika penyebabnya
keganasan atau gagal ginjal kronis. Tanda dehidrasi sering ditemukan pada
pasien bayi dan anak-anak. Inkontinensia urin akibat kerusakan buli-buli karena
overdistensi berkepanjangan sering pada kasus nefrogenik sejak lahir. Diabetes
insipidus gestasional berhubungan dengan oligohidramnion, preeklampsi, dan disfungsi
hepar.
2.
Radiologi
A.
IVP (IntraVenous Pyelography)
Pemeriksaan
radiografi dari tractus
urinarius
dengan pemberian zat
kontras yang dimasukkan melalui vena sehingga dapat menunjukkan fungsi ginjal dan
dapat mengetahui apabila terdapat kelainan-kelainan secara radiologis.
C.
MRI
MRI untuk memeriksa
hipotalamus, kelenjar hipofisis, dan jaringan sekitarnya mungkin perlu untuk
menentukan penyebab. Pada T1-weighted (T1MI), kelenjar hipofisis
posterior sehat akan menunjukkan sinyal hiperintens, sedangkan pada penderita
diabetes insipidus sentral sinyal tidak ditemukan, kecuali pada anak-anak
dengan penyebab diturunkan yang jarang.

3.
Pemeriksaan
Laboratorium
Pertama
dilakukan pengukuran volume urin selama 24 jam. Bila <3 liter, bukan
poliuria. Jika >3 liter, osmolalitas urin perlu diukur. Osmolalitas urin
>300 mOsm/kg meunjukkan kondisi diuresis zat terlarut yang disebabkan
diabetes mellitus atau gagal ginjal kronis. Jika osmolalitas urin <300
mOsm/kg, dilakukan water deprivation test.
4.
Tes
Deprivasi Cairan
Tes
deprivasi cairan atau water deprivation
test dilakukan sekitar pukul 8 pagi. Pasien dilarang merokok 2 jam sebelum
dan saat tes dilakukan.
A.
Langkah persiapan awal:
a.
Pasien diposisikan berbaring terlentang
(duduk/berdiri hanya saat berkemih dan pengukuran berat badan).
b.
Pengambilan darah 7-10 mL untuk
osmolalitas plasma.
c.
Pasien diminta mengosongkan kandung
kemih, volume urin dicatat, dan diperiksa osmolalitasnya.
d.
Timbang berat badan hingga pengukuran
0,1 kg beserta tanda vital pasien.
B.
Hentikan cairan intravena (bila
diberikan), pasien diposisikan setengah duduk.
C.
Setiap jam, ulangi langkah di atas
hingga salah satu kondisi ini muncul:
a.
Konsentrasi natrium plasma/osmolalitas
plasma meningkat di atas batas normal, atau
b.
Osmolalitas urin meningkat di atas 300
mOsm/kg H20.
Bila konsentrasi natrium
plasma/osmolalitas plasma meningkat di atas batas normal muncul sebelum osmolalitas urin meningkat di
atas 300 mOsm/kg H20, diabetes insipidus dipsogenik, sentral parsial, dan nefrogenik
parsial dapat disingkirkan. Selanjutnya, dilakukan tes DDAVP (desaminod-arginine
vasopressin atau desmopresin) untuk menentukan diabetes insipidus
sentral komplit atau nefrogenik komplit.
Selain
itu menurut Smeltzer dan Bare (1996) tes deprivasi cairan dilakukan dengan cara
menghentikan pemberian cairan selama 8 jam hingga 12 jam atau sampai terjadi
penurunan berat badan sebesar 3%-5%. Berat badan pasien harus sering diukur
selama cairan dihentikan. Pengukuran osmolalitas plasma dan urin dilakukan pada
awal dan akhir tes tersebut. Ketidakmampuan untuk meningkatkan berat jenis dan
osmolalitas urin merupakan tanda khas diabetes insipidus. Penderita diabetes
insipidus akan terus mengekresikan urin dalam jumlah besar dengan berat jenis
yang rendah dan akan mengalami penurunan berat badan, kenaikan osmolalitas
serum serta peningkatan kadar natrium serum. Kondisi pasien ini harus sering
dipantau selama tes, dan tes tersebut dihentikan jika pasien mengalami
takikardia, penurunan berat badan yang ekstrim atau hipotensi.
5.
Tes DDAVP (Desamin D-Arginie Vasopressin atau Desmopresin)
Tes ini untuk
menentukan diabetes insipidus sentral komplit atau nefrogenik komplit.
Prosedur dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1.
Injeksikan 2 mcg DDAVP
subkutan
2.
Pasien diminta mengosongkan kandung kemih pada
1 dan 2 jam setelah injeksi dan kedua sampel diukur osmolalitasnya.
3.
Jika osmolalitas
sampel meningkat >50% diagnosis daibetes insipidus sentral komplit
4.
Jika osmolalitas
sampel meningkat <50% diagnosis siabetes insipidus nefrogenik
Bila
osmolalitas urin meningkat di atas 300 mOsm/kg H20 muncul sebelum konsentrasi
natrium plasma/osmolalitas plasma meningkat di atas batas normal, diabetes insipidus
sentral komplit dan nefrogenik komplit dapat disingkirkan. Selanjutnya diagnostik
untuk membedakan diabetes insipidus sentral parsial, nefrogenik parsial, dan
dipsogenik:
a.
Mengukur kadar plasma ADH sampel dan
dibandingkan dengan osmolalitas plasma, osmolalitas urin, dan konsentrasi natrium
plasma. Dengan cara ini ketiga kemungkinan dapat dibedakan dengan pasti.
Kelemahan cara ini adalah sulit dilakukan di Indonesia dan membutuhkan waktu
lama.
b.
Melihat osmolalitas urin saja. Bila osmolalitas
urin >750 mOsm/kg setelah penghentian cairan, mungkin pasien menderita
diabetes insipidus dipsogenik. Sedangkan bila berkisar 300-750 mOsm/kg atau
tetap <750 mOsm/kg setelah pemberian DDAVP, ketiganya tidak dapat dibedakan.
c.
Membandingkan osmolalitas urin dan
plasma setelah injeksi DDAVP26. Kelemahan cara ini tidak dapat membedakan
diabetes insipidus nefrogenik parsial dan dipsogenik.
VIII.
PENATALAKSANAAN
MEDIS DIABETES INSIPIDUS
Adapun tujuan dari
penatalaksanaan diabetes insipidus menurut Smeltzer dan Bare (1996) adalah
sebagai berikut.
1.
Untuk
menjamin penggantian cairan yang adekuat
2.
Mengganti
vasopresin (yang biasanya merupakan program terapeutik jangka panjang
3.
Untuk
meneliti dan mengoreksi kondisi patologis intrakranial yang mendasari.
Menurut
Kusmana (2016) setiap klasifikasi memiliki penatalaksanaan yang berbeda-beda
dan dapat dijabarkan sebagai berikut.
1.
Diabetes
Insipidus Sentral
Pada
kasus ringan dapat ditangani dengan asupan air yang cukup. Faktor pemberat (seperti
glukokortikoid) dihindari. Bila asupan air tidak cukup dan terjadi
hipernatremia, segera berikan cairan intravena hipoosmolar. Hindari pemberian
cairan steril intravena tanpa dekstrosa karena menyebabkan hemolisis. Untuk
menghindari hiperglikemia, overload cairan, dan koreksi hipernatremia
yang terlalu cepat, penggantian cairan diberikan dengan dosis maksimal 500-750
mL/jam.
A.
DDAVP (Desaminod-Arginine
Vasopressin Atau Desmopresin)
B.
Penurunan ADH perlu mendapat terapi pengganti hormon ADH. DDAVP adalah pilihan utama penanganan diabetes insipidus sentral. DDAVP adalah analog ADH buatan, memiliki masa kerja panjang
dan potensi antidiuretik dua kali ADH. DDAVP
tersedia dalam
bentuk subkutan, intravena, intranasal, dan oral.
Pemberian
diawali pada malam hari untuk mengurangi gejala nokturia, sedangkan
pada pagi hingga sore hari sesuai kebutuhan dan saat munculnya gejala. DDAVP
lyophilisate dapat larut di bawah lidah, sehingga
memudahkan terapi anak dan sangat efektif.
Dosis awal
DDAVP oral adalah 2x0,05 mg dapat ditingkatkan hingga 3x0,4 mg. Preparat nasal
(100 mcg/mL) dapat dimulai dengan dosis 0,05-0,1 mL tiap 12-24 jam, selanjutnya
sesuai keparahan individu. Obat-obatan selain DDAVP hanya digunakan bila respon
tidak memuaskan atau harga terlalu mahal.
C.
Carbamazepine
Carbamazepine meningkatkan sensitivitas ginjal terhadap efek ADH.
Pada studi in
vivo, carbamazepine menurunkan volume urin dan meningkatkan
osmolalitas urin dengan
meningkatkan ekspresi aquaporin-2
pada duktus kolektikus
medula interna. Obat ini mempunyai
risiko efek samping ataksia, mual, muntah, dan mengantuk.
D.
Chlorpropamide
Chlorpropamide digunakan untuk diabetes insipidus
ringan. Zat ini meningkatkan potensi ADH yang bersirkulasi, sehingga mengurangi urin hingga 50%. Chlorpropamide memiliki banyak efek
samping, seperti hipoglikemi, kerusakan hati, anemia aplastik, sehingga
penggunaannya perlu diawasi.
2.
Diabetes
Insipidus Nefrogenik
Diabetes insipidus
nefrogenik tidak berespons terhadap ADH. Terapi berupa koreksi hipokalemia dan hiperkalsemia atau menghentikan
obat-obat yang dapat menyebabkan diabetes insipidus nefrogenik. Diuretik
thiazide dan restriksi garam
bertujuan untuk mengurangi laju segmen filtrasi menuju segmen dilusi pada
nefron. Pengurangan penyerapan klorida dan natrium pada tubulus distal, akan
meningkatkan penyerapan natrium dan air di tubulus proksimal. NSAID
membantu mengatasi poliuria pada diabetes insipidus nefrogenik dengan meningkatkan
regulasi aquaporin-2 dan Na-K-2Cl co-transporter type-2 (NKCC2).
3.
Diabetes
Insipidus Gestasional
Pilihan
pertama DDAVP karena tidak terdegradasi oleh vasopressinase yang bersirkulasi.
4.
Diabetes
Insipidus Dipsogenik
Tidak
ada terapi spesifik selain mengurangi jumlah asupan cairan. Jika disebabkan
oleh gangguan mental,
terapi gangguan mental akan menyembuhkan.
IX.
PROGNOSIS
DIABETES INSIPIDUS
Menurut Kusmana
(2016) pada umumnya diabetes insipidus jarang menyebabkan kematian. Diabetes
insipidus sentral akibat pembedahan biasanya akan remisi setelah beberapa
hari/minggu, tetapi kerusakan struktural infundibulum dapat mengakibatkan
kondisi diabetes insipidus yang permanen. Diabetes
insipidus nefrogenik disebabkan-obat dapat remisi setelah
penghentian obat, namun pada beberapa kasus penggunaan obat kronis dapat
menyebabkan kondisi diabetes insipidus yang permanen.
X.
KOMPLIKASI
DIABETES INSIPIDUS
Menurut Black (2009)
diabetes insipidus memiliki beberapa komplikasi, yaitu sebagai berikut.
1.
Ketidakseimbangan elektrolit
2.
Hipovolemia
3.
Hipotensi
4.
Syok
Selain
itu, menurut Alodokter (2016) komplikasi dari diabetes insipidus, yaitu sebagai
berikut.
1.
Ketidakseimbangan
Elektrolit
Elektrolit adalah mineral seperti
kalsium, sodium, khlor, potasium, magnesium, dan bikarbonat. Kandungan mineral
ini berfungsi menjaga keseimbangan air di dalam tubuh dan berperan dalam
fungsi-fungsi sel. Gejala yang mungkin akan terjadi akibat kondisi ini adalah:
A.
Kelelahan
atau kehabisan energi
B.
Sakit
kepala
C.
Sakit
pada bagian otot
D.
Mudah
marah
E.
Mual
dan kehilangan selera makan
2.
Dehidrasi
Dehidrasi adalah dampak yang
paling umum ketika tubuh tidak bisa mempertahankan cukup cairan di dalam tubuh
akibat diabetes insipidus. Gejala yang muncul akibat dehidrasi antara lain:
A.
Mulut
dan bibir kering
B.
Pusing
atau sakit kepala
C.
Tekanan
darah rendah (hipotensi)
D.
Demam
E.
Kebingungan
dan mudah marah
F.
Denyut
jantung cepat
G.
Penurunan
berat badan.
Untuk
kondisi dehidrasi ringan, bisa ditangani dengan oralit. Sedangkan untuk kondisi
yang parah, mungkin perlu dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan cairan
melalui intravena.
BAB
III
TINJAUAN
KASUS
I.
KASUS
Tn. A (30 Tahun)
dirawat diruang perawatan rumah sakit swasta. Klien dirawat dengan keluhan
sering merasa haus dan sangat banyak minum terutama air dingin. Klien
mengatakan sering sekali BAK terutama pada malam hari. Klien juga mengatakan BB
menurun dan tidak nafsu makan. Klien mengeluh merasa kelelahan dan lemah. Klien
menambahkan tidurnya terganggu akibat sering merasa BAK. Keluhan lainnya klien
sulit berkonsentrasi dan merasa kurang nyaman dibagian kandung kemihnya.
Dari hasil pengkajian turgor
kulit klien tampak buruk, klien tampak pucat, membran mukosa pucat dan kering.
Selain itu kulit klien tampak kering, klien juga tampak sering berkemih, dan klien
tampak gelisah.
Hasil TTV menunjukkan tekanan darah klien 100/70 mmHg, nadi klien 69 x/menit, suhu klien 37,90C, respiration rate klien 21 x/menit. Didapatkan hasil observasi input cairan klien sebesar 5500 cc/hari dan output cairan klien sebesar 6000 cc/hari serta IWL klien sebanyak 500 cc/hari sehingga hasil balance cairan klien adalah -1000 cc/hari. Kemudian berat badan klien sebelum sakit sebesar 65 kg dan berat badan setelah sakit sebesar 50 kg dengan tinggi badan 170 cm. Didapatkan hasil IMT klien yaitu sebesar 17,3.
Hasil laboratorium klien menunjukkan osmolalitas urin klien sebesar 105 mOsm/L, osmolalitas plasma klien sebesar 312 mOsm/L, berat jenis urin klien 1,001 g/ml, dan tes DDAVP menunjukkan osmolalitas sampel meningkat >50%. Hasil pencitraan MRI menunjukkkan tidak adanya sinyal hiperintens pada kelenjar hipofisis posterior.
Hasil TTV menunjukkan tekanan darah klien 100/70 mmHg, nadi klien 69 x/menit, suhu klien 37,90C, respiration rate klien 21 x/menit. Didapatkan hasil observasi input cairan klien sebesar 5500 cc/hari dan output cairan klien sebesar 6000 cc/hari serta IWL klien sebanyak 500 cc/hari sehingga hasil balance cairan klien adalah -1000 cc/hari. Kemudian berat badan klien sebelum sakit sebesar 65 kg dan berat badan setelah sakit sebesar 50 kg dengan tinggi badan 170 cm. Didapatkan hasil IMT klien yaitu sebesar 17,3.
Hasil laboratorium klien menunjukkan osmolalitas urin klien sebesar 105 mOsm/L, osmolalitas plasma klien sebesar 312 mOsm/L, berat jenis urin klien 1,001 g/ml, dan tes DDAVP menunjukkan osmolalitas sampel meningkat >50%. Hasil pencitraan MRI menunjukkkan tidak adanya sinyal hiperintens pada kelenjar hipofisis posterior.
Klien didiagnosis menderita
diabetes insipidus sentral. Perawat serta dokter dan paramedis lainnya
melakukan perawatan secara integrasi untuk menghindari atau mengurangi resiko
komplikasi lebih lanjut.
II.
ASUHAN
KEPERAWATAN DIABETES INSIPIDUS
Data Fokus
Data
Subjektif
|
Data
Objektif
|
|
|
Analisa Data
No.
|
Data Fokus
|
Masalah
|
Etiologi
|
1.
|
DS :
DO :
§ TD
: 100/70
mmHg
§ N : 69
x/mnt
§ S : 37,90C
§ RR
: 21
x/mnt
11. Hasil
laboratorium:
§ Osmolalitas
urin: 105
mOsm/L
§ Osmolalitas
plasma: 312
mOsm/L
§ Berat jenis urin: 1,001 g/ml
§ Tes DDAVP menunjukkan
osmolalitas sampel meningkat >50%
12. Hasil pencitraan MRI menunjukkkan
tidak adanya sinyal hiperintens pada kelenjar hipofisis posterior
13. Klien didiagnosis menderita diabetes insipidus sentral
14. BB
klien sebelum
sakit: 65kg dan BB
setelah sakit: 50 kg
|
Kekurangan volume
cairan (00027)
|
Kehilangan
cairan aktif
|
2.
|
DS :
1. Klien
mengatakan sering sekali BAK terutama
pada malam hari
2. Klien
mengatakan tidurnya terganggu akibat sering merasa BAK
3. Klien
mengatakan kurang
nyaman dibagian kandung kemih
DO :
1. Klien
tampak sering berkemih
2. Output
: 6000
cc/hari
3. Hasil
laboratorium:
§ Osmolalitas
urin: 105
mOsm/L
§ Berat jenis urin: 1,001 g/ml
4. Klien didiagnosis menderita
diabetes insipidus sentral |
Gangguan
eliminasi urin
(00016)
|
Penyebab
multipel
|
3.
|
DS :
1. Klien
mengatakan BB menurun
2. Klien
mengatakan tidak nafsu
makan
3. Klien
mengeluh merasa
kelelahan dan lemah
4. Klien
mengatakan kurang
nyaman dibagian kandung kemih
DO :
1. BB klien sebelum sakit: 65kg dan BB setelah sakit: 50 kg 2. TB 170 cm 3. Hasil IMT klien 17,3 4. Klien tampak pucat 5. Membran mukosa klien tampak pucat |
Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh (00002)
|
Ketidakmampuan
mengabsorbsi nutrien
|
4.
|
DS :
1. Klien
mengatakan tidurnya
terganggu akibat sering merasa BAK
2. Klien
mengatakan kurang
nyaman dibagian kandung kemih DO :
1. Klien
tampak nokturia
2. Klien
tampak sering berkemih
|
Deprivasi
tidur (00096)
|
Ketidaknyamanan lama
|
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
No.
|
Diagnosa
Keperawatan
|
1.
|
Kekurangan
volume cairan berhubungan
dengan kehilangan cairan aktif
|
2.
|
Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien
|
3.
|
Gangguan
eliminasi urin berhubungan
dengan penyebab multipel
|
4.
|
Deprivasi
tidur berhubungan
dengan ketidaknyamanan
lama
|
INTERVENSI
No.
|
Tanggal /
Jam
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Tujuan dan
Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
1.
|
Sabtu, 27 Mei 2017
|
Kekurangan
volume cairan berhubungan
dengan kehilangan cairan aktif
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24
jam, masalah kekurangan
volume cairan dapat
teratasi.
Dengan
kriteria hasil:
§ TD: 100-120/80- 90mmHg
§ N: 60-100 x/mnt
§ RR: 16-24 x/mnt
§ S: 36,5 – 37,50C
6. Hasil laboratorium:
§ Osmolalitas
urin: 300-450
mOsm/L
§ Osmolalitas
plasma: <290
mOsm/L
§ Berat jenis urin: 1,015-1025
g/ml
7.
Hasil
pencitraan
MRI menunjukkkan adanya sinyal hiperintens pada kelenjar hipofisis posterior. |
Mnajemen cairan (4120)
1. Timbang
BB setiap hari dan monitor status klien
2. Monitor
status hidrasi klien
3. Jaga
intake dan output cairan klien
4. Monitor
tanda-tanda vital klien
5. Berikan
terapi IV sesuai yang ditentukan
Kolaborasi:
1.
Konsultasikan
dengan dokter jika tanda-tanda dan gejala kelebihan volume cairan menetap
atau memburuk.
2.
Diskusikan
dengan dokter tentang pemberian terapi DDAVP, Carbamazepine,
atau Chlorpropamide.
|
2.
|
Sabtu, 27 Mei 2017
|
Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24
jam, masalah ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh dapat teratasi.
Dengan
kriteria hasil:
1.
BB
klien meningkat
2. Hasil
IMT klien normal (18,5-24,9)
3. Klien
memiliki nafsu makan
4. Klien
tidak mengeluh lemah dan kelelahan lagi
5. Klien
tidak tampak pucat lagi
6. Membran
mukosa klien tidak tampak pucat lagi.
|
Manajemen
nutrisi (1100)
1. Lakukan
atau bantu klien terkait dengan perawatan mulut sebelum makan
2. Identifikasi
adanya alergi makanan yang dimiliki klien
3. Kaji
makanan kesukaan klien
4. Monitor
adanya mual dan muntah
5. Timbang
berat badan klien secara teratur
6. Identifikasi
perubahan berat badan terakhir
7. Monitor
asupan kalori setiap hari
Kolaborasi:
1. Kolaborasi
dengan dokter tentang pemberian suplemen penambah nafsu makan
2. Kolaborasi
dengan ahli gizi untuk pemberian program diet yang tepat bagi klien.
|
3.
|
Sabtu, 27 Mei 2017
|
Gangguan
eliminasi urin berhubungan
dengan penyebab multipel
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam,
masalah gangguan
eliminasi urin dapat teratasi.
Dengan
kriteria hasil:
1. Frekuensi
BAK klien dalam batas normal (4-8 x/hari)
2. Output cairan/BAK 1.000-1.800 cc/hari
3. Hasil laboratorium dalam batas normal:
§ Osmolalitas
urin: 300-450
mOsm/L
§ Berat jenis urin: 1,015-1025
g/ml
|
Monitor Cairan (4130)
1. Monitor
input dan output cairan klien
2. Monitor
kadar serum dan osmolalitas urin klien
3. Tentukan
faktor-faktor resiko yang mungkin menyebabkan ketidakseimbangan cairan
4. Berikan
asupan/input cairan yang tepat
Kolaborasi:
1. Konsultasikan
dengan dokter jika terdapat tanda-tanda ketidakseimbangan cairan.
|
4.
|
Sabtu, 27 Mei 2017
|
Deprivasi
tidur berhubungan
dengan ketidaknyamanan
lama
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24
jam, masalah deprivasi
tidur dapat teratasi.
Dengan
kriteria hasil:
1. Waktu
dan pola tidur
tidak terganggu (8 jam/hari)
2. Klien tidak mengalami nokturia lagi
|
Peningkatan
tidur (1850)
1. Monitor pola tidur
klien dan jumlah jam tidur
2. Monitor
pola tidur
klien dan catat kondisi fisik (misalnya, frekuensi BAK)
3. Tentukan pola tidur
atau aktivitas klien
4. Perkirakan
tidur atau siklus
bangun
klien di dalam perawatan perencanaan
5. Sesuaikan
lingkungan (misalnya, cahaya, kebisingan, suhu, kasur, dan tempat tidur) untuk meningkatkan kualitas tidur klien. |
BAB
IV
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
Diabetes
insipidus merupakan kelainan pada lobus posterior hipofisis yang disebabkan
oleh defisiensi vasopresin yang merupakan hormon antidiuretik (ADH) yang
ditandai dengan gejala klinis utama yaitu polidipsi dan poliuri. Kejadian
diabetes diperkirakan kasus tiap 25.000 populasi. Di Indonesia sendiri belum
ada laporan angka kejadian diabetes insipidus.
Diabetes insipidus dibagi menjadi diabetes insipidus sentral, diabetes insipidus nefrogenik, diabetes insipidus gestasional, dan diabetes insipidus dipsogenik. Diabetes insipidus disebabkan oleh kondisi yang mengganggu pembuatan, penyimpanan, dan pelepasan ADH. Selain itu dapat disebabkan juga oleh adanya gangguan struktur atau fungsi ginjal, baik permanen maupun sementara, akibat penyakit ginjal (penyebab tersering), obat-obatan, atau kondisi lain yang akhirnya dapat menurunkan sensitivitas ginjal terhadap ADH.
Hormon antidiureutik (ADH) berperan penting dalam sistem regulasi volume cairan dan osmolalitas plasma tubuh. ADH diproduksi oleh hipotalamus, kemudian disimpan di hipofisis posterior, dan disekresikan saat diperlukan, yaitu jika osmolalitas plasma meningkat. Setelah disekresikan, ADH akan merangsang duktus kolektikus di nefron ginjal untuk menyerap kembali cairan, mengakibatkan osmolalitas urin meningkat dan osmolalitas plasma menurun. Bila osmolalitas plasma turun, sekresi ADH akan berkurang. Segala kondisi yang mengakibatkan penurunan sekresi ADH atau berkurangnya respons nefron ginjal terhadap ADH akan menimbulkan diabetes insipidus.
Dalam mendiagnosis diabetes insipidus dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, radiologi, pemeriksaan laboratorium, water deprivation test, dan tes desamin d-arginie vasopressin atau desmopresin (DDAVP).
Adapun penatalaksanaan medis diabetes insipidus antara lain terapi DDAVP, Carbamazepine, dan Chlorpropamide. Pada umumnya diabetes insipidus jarang menyebabkan kematian. Namun pada beberapa kasus penggunaan obat kronis dapat menyebabkan kondisi diabetes insipidus permanen.
Selain itu, diabetes insipidus dapat menyebabkan beberapa komplikasi antara lain ketidakseimbangan elektrolit, hipovelemia, hipotensi, syok dan dehidrasi berat.
Diabetes insipidus dibagi menjadi diabetes insipidus sentral, diabetes insipidus nefrogenik, diabetes insipidus gestasional, dan diabetes insipidus dipsogenik. Diabetes insipidus disebabkan oleh kondisi yang mengganggu pembuatan, penyimpanan, dan pelepasan ADH. Selain itu dapat disebabkan juga oleh adanya gangguan struktur atau fungsi ginjal, baik permanen maupun sementara, akibat penyakit ginjal (penyebab tersering), obat-obatan, atau kondisi lain yang akhirnya dapat menurunkan sensitivitas ginjal terhadap ADH.
Hormon antidiureutik (ADH) berperan penting dalam sistem regulasi volume cairan dan osmolalitas plasma tubuh. ADH diproduksi oleh hipotalamus, kemudian disimpan di hipofisis posterior, dan disekresikan saat diperlukan, yaitu jika osmolalitas plasma meningkat. Setelah disekresikan, ADH akan merangsang duktus kolektikus di nefron ginjal untuk menyerap kembali cairan, mengakibatkan osmolalitas urin meningkat dan osmolalitas plasma menurun. Bila osmolalitas plasma turun, sekresi ADH akan berkurang. Segala kondisi yang mengakibatkan penurunan sekresi ADH atau berkurangnya respons nefron ginjal terhadap ADH akan menimbulkan diabetes insipidus.
Dalam mendiagnosis diabetes insipidus dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, radiologi, pemeriksaan laboratorium, water deprivation test, dan tes desamin d-arginie vasopressin atau desmopresin (DDAVP).
Adapun penatalaksanaan medis diabetes insipidus antara lain terapi DDAVP, Carbamazepine, dan Chlorpropamide. Pada umumnya diabetes insipidus jarang menyebabkan kematian. Namun pada beberapa kasus penggunaan obat kronis dapat menyebabkan kondisi diabetes insipidus permanen.
Selain itu, diabetes insipidus dapat menyebabkan beberapa komplikasi antara lain ketidakseimbangan elektrolit, hipovelemia, hipotensi, syok dan dehidrasi berat.
II.
SARAN
Walaupun diabetes insipidus jarang menyebabkan
kematian, diagnosis dan
terapi yang tepat akan membantu meningkatkan kualitas
hidup pasien. Penentuan jenis
dan etiologi diabetes insipidus sangat penting
untuk menentukan rencana terapi yang tepat bagi pasien.
Oleh sebab itu, tenaga kesehatan harus
lebih meningkatkan ilmu pengetahuan, wawasan, keterampilan serta pengetahuan
tentang teknologi sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan dengan tepat
dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, perawat harus cermat dalam mengkaji setiap respon
klinis yang ditimbulkan oleh pasien sehingga dapat menentukan asuhan
keperawatan yang tepat bagi pasien khususnya pasien diabetes insipidus.
DAFTAR
PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 2001. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Volume 2. Jakarta: EGC
Kusmana, Felix. 2016. Diabetes
Insipidus–Diagnosis dan Terapi. CDK.
Vol. 43, No. 11
Black, Joyce M. 2009. Keperawatan Medikal Bedah untuk Hasil yang
Diharapkan. Edisi 8.
Buku 2. Singapura: Elsevier
Batticaca,
Fransisca B., 2008. Asuhan Keperawatan
pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan.
Jakarta: Salemba Medika
Alodokter. 2016. Diabetes Insipidus. Diperoleh 27 Mei 2017, dari
http://www.alodokter.com/diabetes-insipidus/komplikasi
Nanda International. 2015. Nanda International Inc. Nursing Diagnoses:
Definitions and
Classifications
2015-2017. Edisi 10. Jakarta: EGC
Bulechek, Gloria, et al. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC).
Edisi 6. Singapore:
Elsevier




Komentar
Posting Komentar